Rabu, 06 Juli 2011

torpedo refurbishment center

KONSEP :

“KEMUNGKINAN MEMBENTUK

TORPEDO REFURBISHMENT CENTER didalam lingkungan TNI. AL”

( Oleh: Kolonel Ir.Dradjat Budiyanto XIII )

1.PENDAHULUAN..

1.1.Prakata.

Laut, adalah suatu daerah yang amat terbuka, dimana tidak ada gerumbulan pepohonan tempat kita dapat bersembunyi dari pandangan musuh, tidak ada parit tempat kita akan dapat terlindung dari tembakan peluru lawan. Akan tetapi, tak alang juga, tempat seperti ini selalu menjadi ajang perebutan kekuasaan, karena ada teori yang tidak tertulis, yang mengatakan, bahwa siapa yang menguasai lautan, akan menguasai juga daerah yang di lingkupi oleh lautan itu. Dari sifat fisik lautan yang seperti diterangkan terdahulu, dapat diduga kuat, bahwa bila sampai terjadi peperangan dilaut, maka peperangan itu akan merupakan peperangan yang benar benar bergantung pada kemajuan teknologi, baik teknologi wahana perangnya, teknologi senjatanya serta juga teknologi yang dikuasai oleh awak kesenjataan itu sendiri. Taktik sendiri, dari dulu sampai sekarang, relative tetap. Model matematis perhitungannya tidak pernah berubah sejak awal diketemukan. Tanpa ada niatan untuk mengecilkan arti mereka mereka yang menguasai taktik, dapatlah dikatakan, bahwa taktik adalah sekedar ajang pengaplikasian dari penguasaan teknologi yang tersebut terdahulu. Tanpa penguasaan teknologi kesenjataan, taktik tidak akan berarti apa apa! Secara umum, peperangan dilaut dilakukan oleh berbagai jenis kapal, yang secara garis besar, dapat dibagi menjadi hanya dua bagian saja, yaitu kapal selam, dan sasarannya, yaitu kapal atas air.

Didalam melaksanakan peperanganya dilaut, senjata utama yang dipergunakan oleh suatu kapalselam adalah torpedo. (Catatan: ada juga kapalselam yang dipersenjatai dengan anti ship missile seperti Excocet M38, atau bahkan dengan ballistic missile, seperti Polaris A3 pada kapalselam nuklir jajaran Fleet Ballistic Missile US Navy, akan tetapi, persenjataan seperti itu berada diluar ruang lingkup pembahasan kita kali ini, atau lebih tepatnya, berada jauh diluar kemampuan penulis untuk membahasnya!). Pada masa masa kini, dalam peperangan dilaut, torpedo ini biasanya ditembakkan oleh kapalselam yang sedang berada dalam keadaan menyelam, kearah sasarannya, baik itu merupakan kapal atas air, maupun sesama kapal selam, sedemikian rupa sehingga kapal sasaran yang ditembaknya, tidak pernah sempat mengetahui, siapa yang menembakknya, dan apa yang sebenar nya mengenainya.

Untuk menjamin keberhasilan penembakan torpedo, perlu dilakukan latihan latihan yang intensif sebelumnya. Ada tiga unsur utama yang amat mempengaruhi keberhasilan penembakan torpedo: pertama, team penyiapan torpedo latihan/ torpedo perang yang bekerja dibengkel, kedua, team penembakan torpedo (Komandan, Palaksa, Weapon Control Officer beserta teamnya, terma suk operator sonar ) dan ketiga, torpedo beserta keseluruh sistemnya sendiri, termasuk peluncur dan bilik hitung penembakan torpedonya.

Latihan penembakan torpedo sendiri, terjadi lewat beberapa tahap, yaitu latihan di attack teacher, disebut juga “dry firing”(maaf, diterjemahkan begitu saja dari bahasa Jerman: trocken feuer yang biasanya didahului dengan papier arbeit, pekerjaan hitungan segitiga penambakan torpedo diatas kertas), untuk melatih kema hiran team penembakan torpedo menghitung segitiga penembakan, yang dilanjutkan dengan latihan penem bakan torpedo latihan, disebut juga sebagai “wet firing”(idem: nash feuer), dan terakhir, baru penembakan torpedo perang, yang disebut sebagai “hot firing”(idem: heize feuer). Tanpa melaksanakan keseluruhan tahapan latihan penembakan, kita tidak akan bisa menjamin keberhasilan perkenaan sasaran, saat benar- benar torpedo akan dipergunakan.

1.2.Maksud dan Tujuan penulisan.

Maksud penulisan makalah ini adalah mengetengahkan kemungkinan pembentukan suatu team refurbishment torpedo, yang mampu mengconvert/merobah torpedo steam gas straight run ET 80 dan non kabel homing torpedo SAET 40 dengan passive sonar homing head, ex Whiskey class, agar dapat dipergunakan dipeluncur kapalselam type U-209, Kilo class, maupun peluncur To-ro S50 yang tertata di KDA/364 dan kedua kapal FPB type NAV I.

Sedangkan tujuan penulisan adalah: menghemat biaya latihan, dengan memper siapkan torpedo bekas ET 80 dan SAET 40 ex Whiskey class, sekaligus memperda lam khazanah pengetahuan kita tentang torpedo, senjata pamungkas khas kapalselam, agar dikemudian hari, kita akan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terha dap Luar Negeri dalam hal yang satu ini.

1.3. Ruang lingkup penulisan.

Penulisan makalah ini akan melingkupi suatu total system penembakan torpe do yang terdiri dari: torpedonya sendiri, sebagai suatu system senjata, lengkap dengan system penembakan termasuk peluncurnya, serta bilik hitung pengendalian torpedo, bengkel pelaksana penyiapan torpedo yang akan ditembakkan, serta kegiat an pelatihan penembakan torpedo, baik torpedo kepala latihan maupun torpedo kepa la perang, serta fakta fakta yang menggambarkan adanya kemungkinan bagi kita un tuk melaksanakan modifikasi / refurbishment torpedo lama. Catatan: team penembak an torpedo, kelompok personil dibawah Komandan kapalselam, yang seharusnya juga merupakan suatu subsistem dari total system penembakan torpedo, berada jauh diluar jangkauan kemampuan pembahasan penulis!

1.4. Metoda pendekatan dan cara penulisan.

Metoda pendekatan (approach) yang dilaksanakan dalam penulisan “Torpedo Refurbishment Center” ini adalah metode analisa kwalitatif, bukan kwantitatif, yang didasari dengan data data quasi experimental yang diperoleh langsung dari lapa ngan, bukan dari sumber statistic maupun penelitian dasar, sedangkan cara penuli sannya dilaksanakan dalam bentuk System Theory, yang membahas (hampir) keselu ruhan sub system yang terdapat dalam system penembakan torpedo, dengan meman faatkan permodelan ORSA (Operation Research & System Analysis).

1.5. Praanggapan.

· Torpedo adalah suatu senjata pamungkas, khusus kapalselam, yang amat mahal harga dan nilainya, dan BUKAN merupakan sesuatu yang dapat dengan mudah kita beli, juga walaupun kita mempunyai cukup banyak dana.

· Masih ada cukup banyak torpedo ET80 dan SAET40 ex Rusia digu dang Arsenal TNI.AL sisa dari persenjataan Whiskey class.

· Peralatan yang telah tersedia di bengkel LABINSEN akan lebih dari cukup untuk melakasanakan kegiatan torpedo refurbishment ini.

· Dengan datangnya dua kapalselam Kilo class, maka jumlah kapalselam kita akan menjadi dua kali lipat, dan hal ini lalu akan berarti bahwa frekwensi serta kwantitas latihan penembakan torpedo akan meningkat secara proporsionil.

· Disamping keempat kapalselam tersebut terdahulu, juga ada KRI. Ki Hajar Dewantara / 364 dan dua FPB 57 type NAV I : KRI Singa / 651 dan KRI Ajak / 653 ex PT.PAL yang menggunakan To-ro S50 (pelun cur torpedo schnellboot Jerman, buatan MAK) caliber 21 inch / 533 mm, yang juga memerlukan kesempatan latihan penembakan torpedo.

· Sistem “tour of duty” dikalangan personil dengan status militer, menjadi kan mereka rawan terhadap mutasi, menyebabkan kita mengalami kesu litan yang amat sangat untuk memperoleh tenaga dengan spesialisasi ah li torpedo.

· Masih banyak tenaga ahli torpedo lama yang potensial, tetapi telah bera da diluar lingkungan TNI.AL, yang akan dapat dimanfaatkan dalam pro jek “Torpedo Refurbishment Center” ini.

· Lisensi pembuatan torpedo SUT dari AEG Jerman, diberikan pada kita dengan masih amat banyak ketergantungan baik teknis maupun adminis trative.

1.6. Pengertian.

Didalam penulisan ini akan dipakai pengertian sebagai berikut:

· pra-anggapan: praanggapan adalah situasi, dimana bila salah satu saja hal yang di-praanggapkan ternyata tidak benar, maka tulisan konsep ini bak bunga yang layu sebelum berkembang, telah dianggap gagal sebelum di laksanakan. Misal nya, bila ternyata bahwa di Arsenal TNI.AL Batu Porong sudah tidak lagi terdapat sisa torpedo lama ex Whiskey class, maka tulisan ini hanya patut menjadi konsumsi tong sampah, atau dijadikan bungkus kacang goreng.

· Torpedo dry firing, wet firing dan hot firing: torpedo dry firing adalah latihan penembakan torpedo yang dilaksanakan diruangan attack teacher, dan torpedo wet firing adalah latihan torpedo yang dilaksanakan dilaut dengan mengguna kan torpedo kepala latihan, sedangkan torpedo hot firing adalah penembakan torpedo kepala perang sesungguhnya kesaran latihan.

· TFC: torpedo fire control, adalah bilik hitung penembakan torpedo, dimana kita dapat memberikan informasi tentang sasaran (berupa data sasaran: kece patan, haluan, baringan dll) dan perintah kepada torpedonya sendiri (berupa: kecepatan dan kedalaman peluncuran, haluan, penggunaan fuze/penggalak peledak, perintah pengaktifan sonar pasiv pencari sasaran dll). TFC di Whis key class adalah TAS L2, yang masih menggunakan system data transfer analog, sedangkan di U-209 adalah SINBADS (Submarine Integrated Battle and Data System) buatan HSA, dan di Kilo class adalah Murena MVU-110EM atau MVU-119EM, ketiga-tiganya telah menggunakan system data transfer digital. Dalam TFC ini, segitiga penembakan torpedo ( haluan dan kecepatan kapalselam, haluan dan kecepatan torpedo, baringan, haluan dan kecepatan kapal lawan) di hitung secara terkomputerisasi.

· Torpedo lama dan torpedo baru: torpedo lama adalah steam gas straigt run ET80 torpedo dan non wire guided electric homing torpedo SAET40 dengan passive sonar homing head, kedua duanya ex Rusia, bawaan kapalselam Whis key class, sedangkan torpedo baru adalah homing torpedo SUT (Surface and Under water Torpedo) wire guided, bawaan kapalselam type U-209 ex Jerman, dan torpedo Rusia yang (kemungkinan) akan dibawa oleh Kilo class: AT-2 E53-72 yang menggantikan ET80, SAET-60M dengan passive sonar homing head, SET 65M (E53-76) active passive sonar homing head, serta homing torpedo wire guided USET80 dengan active passive dan wake homing head (bagi Kilo class versi 4B), keseluruhannya didukung dengan propulsi elektrik.

· Torpedo Homing head, adalah kepala pelacak torpedo, yang berisi peralatan untuk melacak sasaran, pada SAET40 dengan passive sonar, pada SUT dengan passive/active sonar, pada USET80 dengan passive, active dan wake hominmg head.

· Torpedo propulsion system, adalah system tenaga penggerak torpedo, sumber daya yang dipergunakan untuk memutar twin screw counter rotating propeller, guna mendorong torpedo meluncur didalam air menuju kearah sasaran. Pada torpedo ET80 adalah steam gas dan power turbine, pada SAET40 sudah meng gunakan batere & motor listrik, pada torpedo baru rata rata menggunakan batere & motor listrik.

· Cost of Lost: nilai kerugian yang dihitung sebelum kejadian sesungguhnya terjadi, dibutuhkan sebagai data untuk penentuan pengambilan keputusan.

· COR (Cost Effectiveness Ratio) adalah perbandingan antara jumlah biaya yang akan dikeluarkan, dibandingkan dengan hasil yang akan dicapai.

2. PENGENALAN MASALAH

2.1. Mengenal torpedo.

Senjata utama kapalselam adalah torpedo. Torpedo itu sendiri, secara fisik me rupakan suatu projektil berbentuk silinder, dengan diameter 21 inch / 533 mm, sepan jang sekitar empat meter (sampai enam meter), dengan berat sekitar dua ton, yang memiliki lima sampai enam bagian utama: didepan sendiri terdapat kepala lacak (nihil pada ET 80, pada SAET 40 berupa sonar pasif, pada SUT berupa sonar active passive) dan hulu ledak, kemudian muatan pendorong (batere bagi SAET 40, maupun kerosine dan UTT bagi ET 80, HTP High Test Peroxide pada USET 80), kepala pemi kir dan peralatan kendalinya (gyro compass dan gyro stabilizer, membrane pengukur kedalaman, control system and actuator, yang mengendalikan arah kecepatan dan kedalaman), mesin pendorong /propulsi (berupa turbin uap pada ET 80 dan motor listrik pada SAET 40 dan SUT), dan terakhir: sirip kendali (kemudi tegak dan kemudi horizontal) serta terakhir, sepasang twin screw counter rotating propeller, balingbaling kembar yang berputar berlawanan arah.

Sesaat setelah ditembakkan dari dalam peluncur torpedo, maka tangki muatan pendorong akan memberikan muatannya kepada mesin pendorong, dan mesin akan bekerja memutar twin screw counter rotating propeller. Torpedo akan meluncur menuju sasaran, dengan kecepatan sekitar duapuluh knot minimal! Pada ET 80 (steam gas, straight run torpedo), sesuai dengan namanya, torpedo akan berjalan lu rus, sesuai arah, kecepatan dan kedalaman menuju sasaran yang telah diprogramkan terlebih dahulu melalui bilik hitung penembakan TAS L2, sedangkan pada SAET 40 (elektric torpedo, passive sonar homing head guidance), pertama torpedo akan berjalan menuju sasaran dengan haluan dasar awal yang telah ditentukan di TAS L2 kemudian, mencari sasarannya sendiri berdasarkan gersik suara propeller kapal lawan, melalui tuntunan sensor sonar pasiv yang ada dikepalanya. Catatan: torpedo SAET40 merupakan pengembangan dari torpedo Jerman LUT (Lage Unabhangiger Torpedo , torpedo yang dapat ditembakkan tanpa memperdulikan kedudukan kapal musuh, dikendalikan dengan sonar passive). Peluncurannya kearah sasarannya didorong oleh propellernya, suatu twin screw counter rotating propeller, yang menja min bahwa torpedo tidak akan mengalami momen puntir dari putaran motornya sendiri, dan ditahan pada kedalaman yang dikehendaki dengan diatur oleh membrane pengukur kedalaman, serta dilaksanakan oleh sirip horisontalnya, serta dijaga pada arah haluannya, dengan dikendalikan oleh gyro kompas, pelaksanakan dilakukan oleh kemudi tegaknya. Ledakannya akan dipicu oleh beberapa macam pistol peledak (fuze, detonator), baik contact, proximity fuze maupun magnetic fuze. Terkadang, beberapa fuze di aktifkan bersama, untuk memperoleh 100% kepastian ledak. Hulu ledaknya yang berisi sekitar 200 kg TNT, dipastikan akan dapat mematahkan keel kapal perang jenis manapun yang kena hantamannya, apalagi bila ledakkannya disetel pada suatu jarak kedalaman tertentu dari lunas kapal sasaran, dalam rangka memperoleh keuntungan “double blast effect”.

2.2. Kesulitan untuk memperoleh torpedo modern.

Sebagai catatan, mutlak perlu untuk diketahui, bahwa adalah tidak mudah untuk memperoleh senjata pamungkas bawah air ini, juga walaupun kita memiliki dana yang lebih dari cukup! Negara Barat tertentu, yang berada dibawah kendali NATO, senantiasa akan memiliki alasan untuk mencegah kita dapat memiliki senjata ini! Sebagai contoh, torpedo SUT yang konon merupakan senjata andalan kapal selam type U-209, yang kita beli dari Jerman / HDW. Ternyata, saat ini SUT terse but amat sukar kita peroleh, dengan alasan yang tidak akan pernah dapat kita me ngerti! Torpedo SUT yang tersedia di Arsenal saat ini, adalah juga torpedo yang kita purchase bersamaan dengan pengadaan kapalselam CKA dan NGL pada tahun 1978 yang lalu, hampir tiga-puluh tahun silam! (Pernyataan Kolonel Pramono, Paban SOPS KSAL, (kini Laksma), diperjelas oleh laksma Susilo, KASATLAIK MATKAP, Rapat di ruang rapat DISLITBANGAL, Rabu 15 Februari 2006).

2.3. Beberapa cara penembakan torpedo dari dalam peluncurnya.

Secara teknis, untuk penembakannya, ada beberapa cara, yang secara garis besar dapat digolong dalam dua bagian besar, yaitu:

1.Di”lontarkan” dengan cara impulse, pemberian tekanan dari dalam peluncur, baik dengan tekanan udara (UTT penembakan torpedo), maupun dengan tekana air penembakan (system silinder tekanan air)

2.Di”luncur”kan dengan tenaga torpedo sendiri: swimmout, system propul si torpedo telah bekerja melaksanakan pendorongan saat torpedo masih berada dalam peluncur.

Contoh cara penembakan dengan UTT dapat dijumpai pada kapalselam Whiskey class (baik dengan BTS, yang akan mencegah gelembung udara penembakan muncul kepermukaan air, maupun non BTS), dan yang lebih modern adalah penembakan dengan tekanan air (peluncur Krupp MAK, peluncr Straghan & Henshaw), peluncur yang disebut pertama dapat dijumpai pada kapalselam S-33 Argentina type

TR 1700 buatan TNSW (Thysen Nord See Werke), Jerman. Sedangkan contoh cara peluncuran dengan swimmout, yang banyak dipergunakan pada kapalselam yang lebih modern, dapat diketemukan mulai pada kapalselam German Navy type U-205/206, dan kapalselam kita type U-209 ex HDW (Howaldswerke Deutsche Werft) Jerman.

Cara yang terakhir disebutkan ini, secara teoritis akan dapat dipandang sebagai cara yang akan amat menghemat material yang dipergunakan untuk mem buat peluncur torpedo, sebab beban tekanan peluncuran relative jauh lebih ringan, ha nya sebesar tekanan kedalaman selam penembakan, dibandingkan dengan pada pelun curan yang menggunakan system impulse UTT, yang membutuhkan kemampuan peluncur untuk kecuali menerima tekanan kedalaman selam, juga harus bertahan dalam menerima sentakan /impulse tekanan 250 bar dari botol UTT penembakan torpedo.

Skema peluncur torpedo dgn system lontar udara bertekanan tinggi (sebagaimana yg dipergunakan di Whiskey class).

  1. Peluncur torpedo 12. cincin penghenti
  2. pintu luar 13. penahan dari karet sintetis
  3. piston pelontar 14. mekanisme pengontrol jalan torpedo, yg

ditembakkan secara lurus.

  1. penahan torpedo dlm tabung
  2. tuas enembakan dgn tangan 15. batang penhubung
  3. tuas penegang 16. baut pembuka
  4. pegas pelepas 17. peralatan pemindah, bila muatan torpedo diganti

dgn muatan ranjau

  1. baut penyiap
  2. mekanisme pelepas elektromagnit 18.mekanisme pengukur kedalaman.
  3. batang pelepas 19. nok penghubung batang pengunci
  4. katup pelepasan 20.mekanisme untuk mengoperasikan pintu luar

11a. nok penahan katup pelepas 21. pintu depan peluncur

22. pintu luar peluncur, sekaligus stream liner.

Sumber: Gabler 49

2.4. Perkiraan jumlah torpedo ex Whiskey class di Arsenal TNI.AL.

Diduga kuat, bahwa masih banyak sisa torpedo macam ini yang tertinggal di Arsenal Batu Porong. Dasar logika dari dugaan ini adalah: dulu kita memiliki 12 kapal selam Whiskey class. Bila saat datang dari Rusia, siap membantu kita memerdekakan Irian Barat, setiap kapal membawa satu basic load berupa 12 torpedo ET80 (empat dalam peluncur depan dan delapan sebagai cadangan), dan 2 torpedo SAET40 dipeluncur belakangnya, maka kita akan memiliki minimal sejumlah total 168 torpedo! Belum lagi torpedo cadangan yang saat itu diangkut di KRI. Ratulangi / 401, tender kapalselam ex DON class! Bila diperkirakan RLI membawa sekitar 20% saja dari keseluruhan total basic load yang dibawa oleh keseluruhan Whsikey class, maka akan ada tambahan lagi 24 torpedo, sehuingga keseluruhan jumlah torpedo yang ada di Arsenal akan berkisar sekitar 200 torpedo, tepatnya 192 buah! Untuk mencegah keseluruhan torpedo tersebut menjadi suatu kapasitas yang idle, dan akhirnya dijual sebagai scrap dan dihargai hanya senilai harga besi tua, perlu diper timbangkan guna memanfaatkan torpedo sisa tersebut, agar dapat kita pergunakan se efektif mungkin.

2.5.Penyiapan torpedo dibengkel.

Dalam mempersiapkan untuk melaksanakan latihan penembakan torpedo, torpedo yang akan ditembakkan diperiksa dari sisi teknis secara menyeluruh dibengkel torpedo. Tangki bahan bakar diisi, demikian juga botol UTT (untuk ET80). Motor turbin torpedo dicoba diputar dengan menggunakan UTT. Semua peralatan bergerak dicoba kemudahan bergeraknya, diperiksa dan dibersihkan dari karat yang memungkinkan terjadinya kemacetan gerakan peralatan tersebut. Setelah keseluruhan pemeriksaan selesai dan segala sesuatunya sesuai dengan yang diharapkan, maka Kepala Bengkel Torpedo akan menandatangani protocol yang menyatakan bahwa torpedo siap dipergunakan untuk latihan. Proses pemeriksaan semacam ini biasanya berjalan satu sampai dua minggu lamanya.

2.6. Latihan penembakan torpedo, dry firing.

Latihan dry firing ini dilaksanakan di”attack teacher”, suatu ruangan yang merupakan yang mensimulasikan ruang sentral kapalselam, lengkap dengan periskop, bilik hitung penembakan torpedo, meja peta tempat para anggauta team penembakan torpedo menghitung segitiga penembakan torpedo, juga sekaligus mensimulasikan laut dengan kapal atas air yang menjadi sasarannya. Komandan membaring sasarannya, menginformasikan kepada team penembak an torpedo, dan team memplot data awal ini pada peta, lalu membaring lagi kedua kalinya untuk memperoleh kepastian haluan kapal lawan dan kecepatan nya. Data kedua diplot kembali dipeta, dan dari kedua data ini, para team yang telah terlatih diharapkan lalu sudah akan dapat menyimpulkan, kemana haluan kapal, berapa kecepatannya, dan lalu menghitung segitiga penembakan torpedo: kecepatan luncur torpedo, arah luncuran, agar pada waktunya nanti, torpedo dan kapal sasaran akan bertemu pada satu titik! Secara matematis, kegiatan ini dapat dimodelkan sebagai berikut: dV/dt kapal sasaran = dV/dt torpedo, atau perubahan kecepatan kapal sasaran dan perubahan kecepatan torpedo pada setiap saat sama, dengan batasan bahwa sudut δ tetha antara haluan sasaran dan haluan torpedo constant.

Komandan biasanya masih akan membaring sasarannya dengan periskop untuk ketiga kalinya, guna meyakinkan bahwa data data kapal sasa ran tidak berubah, baik haluan serta kecepatan. Bila segala sesuatunya sesuai dengan perhitungan awal, diberikan perintah, penyiapan salah satu torpedo dalam peluncur, dengan setting kedalaman luncur, penggunaan penggalak/fuze dll. Terakhir, diperintahkan untuk menembakkan torpedo kearah sasaran. Latihan ini lebih ditekankan pada pengujian kekompakan serta ketepatan perhitungan team penembakan torpedo.

2.7.Latihan penembakan torpedo, wet firing.

Setelah Komandan beserta Team Penembakan Torpedonya lulus dalam ujian di”attack teacher”, maka periode berikutnya adalah melaksanakan “torpe do wet firing”. Mutlak perlu untuk diketahui, bahwa sebelum itu, kapalselam beserta seluruh awak kapalnya, diharuskan telah lulus dulu dalam ujian sebagai suatu system senjata dan manusia terpadu (integrated man and weapon), yang biasa disebut dengan sadaca. Semua hal yang tersebut dalam uraian pada torpedo dry firing terdahulu, dilaksanakan ulang disini, bedanya adalah, bahwa team melakuan keseluruhan perhitungan ini didalam kapalselam betulan, dimeja peta betulan, dengan TAS L2 betulan, dan bukan dalam simulator. Juga kapal sasaran merupakan kapal yang bergerak sendiri dilaut bebas. Torpedo yang harus disettingpun benar benar berada dalam peluncur! Torpedo yang diluncurkan, akan menuju kapal sasaran, dan pada akhir luncurannya, akan mengapung serta siap dipungut oleh TCB (Torpedo Catch ing Boat, dari kelas Biayawak dan Buaya pada masa masa jaya KDKS)

2.8. Latihan penembakan torpedo perang.

Kembali lagi, keseluruhan uraian yang telah ditulis dalam point tentang latihan penembakan torpedo latihan, akan terulang disini. Hanya kini, torpedo yang berada dalam peluncur adalah torpedo perang, bukan sekedar torpedo latihan, lengkap dengan segala resiko torpedo perang, dengan hulu ledak yang benar benar siap menghancurkan kapal sasaran. Kali ini, pada akhir latihan, tidak ada lagi torpedo yang harus dipungut oleh TCB!

2.9. Pengamanan terhadap kemungkinan hilangnya torpedo, dan nilai taktis latihan penembakan torpedo.

Dengan dapat dipergunakannya kembali torpedo lama ET 80 dan SAET 40 ex Rusia, maka minimal, kalaupun tidak dipergunakan dalam pertempuran betulan (sia pa sih yang sebenarnya menginginkan akan adanya peperangan?), torpedo torpedo tersebut akan dapat dipergunakan dalam latihan penembakan torpedo. Dari sisi kea manan, agar tidak bolak balik hilang, torpedo tersebut dapat ditambahi dengan perlengkapan beacon, baik radio beacon (seperti Marine Emergency Locator Radio Beacon yang hanya bisa memancarkan signal, masih harus dicari oleh TCB dengan menggunakan RDF, harganya hanya AU$. 239,-, sedangkan yang dilengkapi de ngan GPS, yang lalu akan dapat memberitahukan posisi keberadaannya, berharga sekitar AU$.800.-) atau ULB series acoustic beacon (yang bisa aktif selama tigapuluh hari)! Dari sisi pengaktifan katup pemberian UTM (udara tekanan menengah) penghembus air ballast dikepala latihan, agar torpedo memiliki daya apung setelah habis lintasan latihannya, kita dapat memanfaatkan ULB-362-PL yang akan dapat memberikan perintah pelaksanaan segera setelah terjadinya power loss!

Dan, kalaupun terpaksa harus hilang, tentunya nilai kerugiannya lalu tidak akan setinggi kalau yang hilang itu torpedo SUT latihan yang harganya empat milyard Rupiah (itupun kalau pihak Jerman masih mau menjualnya kepada kita!)! Hal ini mutlak perlu dikemukakan disini, sebagai bahan pembanding dalam masalah perhitungan CoL (Cost of Loss, resiko kehilangan), mengingat, bahwa nilai buku torpedo lama ex Rusia tersebut, nilainya telah nol!

Akan tetapi, bila kita pandang dari sisi taktis, betapapun, latihan dengan menggunakan torpedo lama tersebut masih akan memiliki nilai plus yang amat tinggi. Sebab, terus terang saja, Komandan kapalselam beserta team penembakan torpedo, yang tidak pernah berlatih menembakkan torpedonya, dimedan perang nanti, layaknya cuma seperti prajurit infanteri yang tidak perah menembakkan bedilnya. Salah salah, ngokang aja sudah lupa!

2.10. Bagaimana Perancis mengefektif efisienkan cadangan torpedo lama ex Perang Dunia keDuanya.

Sekedar sebagai catatan, jauh diluar konteks pembahasan, perlu kita ketahui, bahwa Perancis, sebagai suatu Negara kaya, yang dari jauh hari tidak pernah berstatus sebagai Negara berkembang, pada saat mendesign kapalselam type barunya (Daphne 1970, Agusta 1979, seumur dengan U-209 kita, dan beberapa type kapalselam modern yang lebih muda lagi), project definition teamnya tidak lupa untuk membuat suatu aturan main, bahwa peluncur torpedo kapalselam baru tersebut, kecuali dapat menembakkan torpedo modernnya, seperti E14, E15 dan L3 kaliber 21 inch/533 mm, juga dipersyaratkan masih harus dapat menembakkan torpedo type lama sisa Perang Dunia kedua, caliber 21,7 inch/ 550 mm, yang masih amat banyak terdapat di Arsenalnya! Rasanya, kita mungkin juga perlu sesekali belajar tentang efisiensi, dengan mengambil contoh dari suatu Negara yang justru bukan Negara yang sedang berkembang!

Sehingga rasanya, kita tidak perlu malu, kalau kita lalu harus mempergunakan torpedo ET80 ataupun SAET40 ex Whiskey class. Bahkan, seharusnya kita bangga, karena kita berarti lalu dapat meng”efektif” dan “efisien”kan tersedianya dana yang amat terbatas, akan tetapi, dapat kita pergunakan untuk pencapaian beberapa tujuan sekaligus. Dengan perkataan lain, kita dapat meningkat kan “cost effectiveness ratio” setinggi mungkin!

3. KONSEP OPTIMALISASI WAY OUT.

3.1. Mempelajari unsur penyebab kegagalan penembakan torpedo (dilingkungan German Navy).

Kehilangan torpedo dalam latihan penembakan torpedo, bukanlah meru pakan monopoli Angkatan Laut Negara Berkembang saja. Bahkan German Navy, sebagai Angkatan Laut negara modern, yang telah memiliki pengalaman bebera pa decade dalam mengoperasikan kapalselam, dan juga telah menggunakan kapal selam sebagai senjata andalan mereka dalam dua Perang Dunia yang lalu, juga masih memiliki problema yang sama. Dalam menghadapi problema tersebut, maka mereka telah melakukan analisa penyebab hilangnya torpedo.

Dari hasil analisa diatas, diperoleh catatan, bahwa penyebab kegagalan penembakan torpedo di Angkatan Laut Jerman, dikategorikan dalam beberapa sebab, yang dibagi dalam dua kategori utama, yaitu:

A. Human error, kesalahan operator:

1. Kesalahan setting kedalaman penembakan, biasanya terjadi kare na pengkonversian satuan panjang meter (yang mereka perguna kan diJerman, dan Eropa Daratan pada umumnya) dengan satu an panjang feet (yang dipergunakan oleh NATO yang didomina si oleh bahasa Inggris).

2. Kesalahan memasukkan baringan sasaran, antara baringan relati ve (relative bearing) dengan baringan benar (true bearing).

3. Pengujian kesiapan torpedo melalui TFC menemukan beberapa kesalahan/ketidaksiapan torpedo, tetapi, diputuskan untuk tetap menembakkan torpedo, dengan harapan fifty fifty, untung untung an siapa tahu akan berhasil.

4. Operator torpedo tidak memperhitungkan kapasitas batere sisa, sehingga saat diberi beban kecepatan tinggi, batere telah exhaust ed sebelum waktunya, dan tenggelam. (Diwaktu mendatang, hal semacam ini akan dapat diantisipasi dengan ULB-362-PL, emer gency beacon buatan RJE International, yang akan aktif sesaat se telah terjadi power loss).

B. Material fault, kesalahan peralatan:

1. adanya gangguan pada TFC (Torpedo Fire Control) (paling sering terjadi, sehingga, maaf, menurut Mayor (saat itu) Suhardiman, spesialis SINBADS, mereka menjuluki HSA sebagai Holland Sa botage Aparat), maupun NUG (Nachrichten Ubertra gungs Gerate, peralatan penerus perintah dari TFC ketorpedo). (Karena NUG buatan AEG Jerman, walau sering rusak, mereka tidak memberikan julukan yang lucu lucu)

2. gangguan pada power system torpedo sendiri, baik yang berupa low baterry capacity, maupun kegagalan kerja motor propulsi.

3. gangguan pada unit pelaksana perintah/system kendali torpedo, berupa kegagalan kemudi vertical untuk mempertahankan arah luncuran sesuai yang dikehendaki oleh TFC, maupun kegagalan kemudi horizontal untuk mempertahankan kedalaman, sehingga torpedo menghunjam kedasar laut.

4. gangguan pada kepala pemikir torpedo, berupa kegagalan gyro horizontal maupun vertical, alat pengatur kedalaman, sonar pa ssive pada kepala pelacak.

5. gangguan pada unit elektronika, yang harus menterjemahkan apa yang dikehendaki oleh kepala pemikir, menjadi perintah (com mand voltage) kepada unit pelaksana perintah.

6. tidak bekerja nya lampu penunjuk tikas (yang harus menyala selama torpedo dalam lintasan), dan/atau juga tidak berfungsinya lampu cerlang (yang harus menyala padam berkelip kelip penunjuk posisi saat lintasan torpedo berakhir).

7. tidak berfungsinya solenoid valve yang harus membuka UTM (udara tekanan menengah) yang berfungsi menghembus keluar air pemberat dikepala latihan, atau bocornya packing pengedap didaerah kepala latihan, sehingga daya apung torpedo latihan hilang. (keduanya tidak dapat dikontrol melalui inner check torpedo dari TFC, tapi harus dicheck saat persiapan torpedo dibengkel ) dan torpedo latihan tenggelam.

8. tidak berfungsinya lampu cerlang, dan/atau juga tidak bekerja nya

signal akustik pada kepala torpedo latihan, yang seharusnya menyala/mulai mentransfer signal saat torpedo latihan mulai me ngapung. (Catatan: Torpedo SUT latihan memiliki dua lampu, lampu cerlang, aktif setelah akhir luncuran, dan lampu penunjuk tikas, 2000 watt, aktif segera setelah diluncurkan, untuk menunjukkan tikas torpedo saat dikendalikan menuju kesasaran). Diwaktu mendatang, hal ini direncanakan dengan penambahan ULB-362-TD, acoustic beacon dai RJE Interantional Inc, yang akan memberikan output akustik setinggi 160 dB, dan radio bea con (seperti Marine Emergency Locator Radio Beacon yang harganya sekitar AU$. 239,-,yang hanya memancarkan signal dan masih harus dicari dengan RDF Radio Direction Finder, ataupun yang telah diperlengkapi dengan GPS, yang lalu akan memancarkan signal yang sekaligus dapat menunujukkan lokasinya kepada TCB torpedo Catcher Boat, kapal pemungut torpedo, sekitar AU$.800.-) yang dipasangkan pada kepala latihan (torpedo exercise head).

Sebagai catatan, di German Navy, problem “wire break” sendiri kelihatannya tidak merupakan permasalahan yang masuk kategori yang serius! Atau, saat instruktur menerangkan hal ini, penulis dalam keadaan me ngantuk dan tertidur! Dalam pembahasan ini akan terlihat dengan jelas, bahwa German Navy melaksanakan koreksi terhadap kekeliruannya /kegagalannya dalam penembakan torpedo dengan melalui pembahasan yang bersifat “a system as a whole”, dan memberlakukan analisa terhadap hal tersebut dalam suatu “total system analysis”!

Bila dalam latihan penembakan torpedo terjadi suatu masalah, maka mereka melaksanakan wash up di “attack teacher”nya, memutar balik rekaman segala kejadian saat penembakan torpedo, benar benar akan mencari apa yang salah, dan berusaha mencari solusinya, cara mem betulkannya, agar kesalahan yang sama tidak akan terulang lagi untuk kedua kalinya! Mereka mungkin mempraktekkan peribahasa kita, bahwa keledaipun tidak akan mau terantuk batu yang sama untuk kedua kalinya! Wash up tersebut benar benar obyektif, dan bukan sarana untuk sekedar mencari kambing hitam dalam masalah tersebut. (Referensi: pengalaman “ikut belajar” bersama Kapten Lubis XV, di Torpedo Keller, Marine Waffen Schule, dengan instruktur Leutenant zur See Jungkopf dari German Navy).

3.2. Ichtiar untuk mengatasi problema “wire break”, sejenis “hantu” yang

paling ditakuti dalam penembakan torpedo latihan.

Semua kegagalan kegagalan penembakan torpedo dengan menggunakan kapalselam type U-209 dalam latihan yang lalu (kembali lagi, kalaupun hal tersebut pernah terjadi), haruslah kini justru dibuka kembali, bukan untuk mencari siapa yang salah, akan tetapi, mencari apa yang salah, dalam usaha untuk memperbaiki serta menyem purnakannya, dalam rangka mencegah kita melaksanakan kesalahan yang sama pada Kilo class. Pengalaman “wire break” yang sering terjadi pada torpedo SUT, harus dicarikan jalan keluar pada USET 80 ini. Antara lain, perlu dipikirkan, bagaimana kemungkinannya untuk menambah kan suatu parity bit penyempurnaan, dalam bentuk digit, sebagai informasi adanya trouble wire break, yang sekaligus akan menjadi trigger / perintah bagi torpedo untuk tetap mematuhi perintah awal terdahulu, sesaat sebelum kabel komunikasi terputus. Dengan demikian maka minimal torpedo akan tetap menuju sasarannya, dan bukannya menghunjam kedasar laut, serta segera mengaktifkan passive searching sonar nya, juga walaupun penggunaan sonar pasif tersebut tentunya belum menggapai radius efektif pengejaran! (Pengalaman mengikuti diskusi “wire break” sebagai dollmetscher di KAE, Hamburg, bersama Komandan CKA/401 Letkol Wartono Soedarman (terakhir, Laksma, LEMHANAS), Mayor Soehardiman, Pwa. SEWACO, pada saat overhaul CKA/401 ditahun 1986 )

Catatan: Sekedar mengingatkan, bahwa “Wire break” adalah “hantu” yang paling ditakuti saat kita menembakkan torpedo kendali kabel (dalam hal ini torpedo SUT dikapalselam type U-209), baik itu merupakan torpedo latihan maupun torpedo perang. Wire break atau putusnya kabel komunikasi / kendali torpedo terjadi, karena kabel mengalami gigitan ikan kecil kecil, tetapi, giginya amat tajam, sehingga kabel mengalami short circuit dan data data yang dikirimkan maupun diterima ke dan dari torpedo kacau balau. Foto foto yang amat dibesarkan menunjukkan dengan jelas bekas gigitan ikan kecil tersebut. Dengan hilangnya komunikasi antara SINBADS dan torpedo, maka yang terjadi adalah torpedo kehilangan kendali, dan biasanya lalu mengambil jalan yang paling aman (bagi torpedo): menghunjam kedasar laut. Bila tidak keliru, parity bit terdahulu, signal yang terdiri dari sekitar delapan digit, pada akhir kelompok signal kendali, yang sedianya didesign untuk mengatasi hal ini, hingga saat penulis meninggalkan SATSEL, belum berhasil mengatasi problem yang ada!

3.3. Simulasi penembakan torpedo, wet firing, ditowing tank, sebagai ujian teknis bagi torpedonya sendiri.

Tujuan penembakan torpedo latihan, mengandung beberapa maksud. Bagi Komandan kapal dan Team Penembakan Torpedo, latihan ini akan merupakan ujian kemampuan mereka mengendalikan torpedo sampai kesasarannya. Bagi torpedonya sendiri, latihan ini antara lain, menguji kemampuan kepala pemikir (dan juga actuator kendali, baik motor listrik, kemudi tegak / rudder dan hydroplane) dalam mengendalikan torpedo ( baik dalam hal arah, kedalaman selam, penggunaan fuze, kecepatan luncur), dan juga menguji kemampuan batere torpedo. Perlu diingat, bahwa latihan penembakan torpedo, akan melibatkan amat banyak personil dan unsur, minimal kapal sasaran dan kapal pengawas latihan. Konsekwensi logis dari hal ini adalah perlunya banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk pencapaian tujuan latihan tersebut. Untuk itu, rasanya, dengan keterbatasan budget yang tersedia, guna pencapaian tujuan latihan, kita harus mulai memikirkan jalan lain.

Khusus bagi pengujian torpedonya sendiri, untuk penghematan biaya dimasa depan, dimana diyakini bahwa budget yang tersedia akan makin menyusut, alternatif yang dapat diusulkan disini adalah kerjasama dengan LHI (Laboratorium Hidrodinamika Indonesia)-BPPH/BPPT Surabaya, yang memiliki towing tank maupun wave simulating tank, yang dirasakan akan cukup memadai guna melakukan kegiatan wet firing simulation.

Pelaksanaan dilakukan dengan meng”ikat” torpedo pada suatu fondasi yang cukup kuat, diarea towing tank, akan tetapi, dengan syarat bahwa ikatan tersebut harus tetap dapat mengakomodasikan gerakan torpedo saat harus berputar karena pengendalian perubahan haluan, juga menukik / trim kedepan karena perintah perubahan kedalaman luncur. Secara teknis, dikatakan bahwa torpedo diikat dengan ikatan yang merupakan gelang Gimballs. Torpedo ditembakkan dari da lam peluncur secara swimm out (secara simulasi, karena pada kenyataannya, torpedo terikat pada tiang penyangganya), dan dikendalikan dengan suatu recorder /player /decoder yang memainkan peran sebagai bilik hitung penembakan torpedo / torpedo fire control (TFC) Murena MVU-110EM / MVU-119EM (bagi torpedo USET 80) atau SINBADS (bagi torpedo SUT). Gerakan actuator pelaksana perintah dari TFC, baik waktu dari saat start sampai pencapaian kecepatan balingan propeller untuk torpedo mulai bergerak (seolah masih didalam peluncur), waktu torpedo (mungkin) seolah jatuh sesaat setelah keluar dari peluncur, karena kecepatannya yang belum optimal, perubahan haluan, perubahan kedalaman luncur, kecepatan dan lain lain, diindera dengan peralatan pengindera, dan ditransfer untuk dicocokkan dengan perintah TFC. Waktu response actuator tersebut dicatat, dan dibandingkan dengan waktu response yang seharusnya dicapai pada suatu torpedo yang prima. Sebagai suatu catatan, walaupun penembakan ini dilakukan dissimulator diluar kapalselam, akan tetapi, tetap saja, semua perintah bagi torpedo yang dicoba, baik perubah an haluan, kedalaman luncur, kecepatan luncur dan data data lainnya, tetap harus dilakukan oleh Team Penembakan Torpedo, dhi oleh Perwira Pengendali Tembakan melalui rolling ball, dengan perintah Komandan kapal.

Dengan mengetahui lack time antara response time ideal dan response time real, dapat dilakukan penyempurnaan terhadap torpedo tersebut, sebelum disiap kan dimuat kedalam kapal selam sebagai torpedo dengan kwalifikasi siap tempur. Besar kecilnya cacat torpedo dapat dilihat dari nilai diferensial dt riil / dt ideal, dan kemudian dapat diperbaiki dengan mengatur kembali sensitivity pada potensiometer dengan senantiasa memperhatikan katakteristik output input IC yang terkait.

Tambahan: pelatihan bagi Komandan dan Team Penembakan Torpedonya, kecuali dilakukan ditempat simulasi wet firing tersebut, juga dapat dilakukan diAttack Teacher, atau dengan memanfaatkan STU-3 Sonar Simulator Training System. Atau, kita menjajagi kemungkinan latihan penembakan ntorpedo dengan menggunakan torpedo steam gas ET 80 straight run, maupun homing torpedo, non kabel SAET 40 passive sonar homing head, yang telah diconvert sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan, dapat ditembakkan secara swimmout baik dipeluncur Kilo class, peluncur type U-209 ( juga dapat dilontarkan dengan UTT penembakan dari peluncur type To-ro S50 di KDA dan FPB NAV I ex PT.PAL), maupun menerima perintah dari TFC (Murena di Kilo class, dan SINBADS di type U-209, Signal SEWACO RI action data automatisation di KDA serta Signal LIOD 73 RI optronic director, Signal WM22 WCS pada FPB NAV I klas Singa)

Salah satu keuntungan yang diperoleh dalam wet firing di simulator towing tank ini adalah antara lain, kita dapat mengetahui penurunan kapasitas batere (pada SUT, type Silberkraft, jenis mercury, dengan very high capacity) saat dipergunakan untuk menenagai motor listrik torpedo, sehingga dapat memutuskan perlu atau tidak nya diadakan penggantian batere. Disamping itu, kemungkinan torpedo (yang amat mahal harganya), hilang karena wire break, karena kesalahan kendali hingga torpedo overshoot maupun baterry low capacity, insya Allah akan dapat dieliminir hingga nol! Bahkan, untuk penghematan batere yang mahal tadi (berharga sekitar DM.60.000.- saat itu, 1986, dan itupun hanya dapat diperguna kan sekitar empat sampai lima kali saja), harus dijajagi kemungkinan menenagai motor listrik propulsi torpedo dengan aliran listrik arus searah dari generator pembangkit khusus diluar torpedo!

3.4. Garis besar konsep modifikasi torpedo ET80 dan SAET40.

Secara garis besar, konsep mengconvert torpedo lama agar dapat dipergnakan

pada peluncur kapal kapal baru adalah sebagai berikut:

· Mempelajari sifat dan perilaku torpedo lama, baik ET80 maupun SAET40, dari segala sisi: propulsi, pengendalian, pencarian sasaran (hanya pada SAET40), proses peluncuran dari peluncur, pengaktifan propulsi dll.

· Memperbandingkan keseluruhan hasil kita mempelajari torpedo lama dengan hal hal yang identik, yang terdapat pada torpedo baru.

· Memanfaatkan analogi/persamaan antara hal hal yang secara prinsip maupun pelaksanaan teknisnya sama, dan berusaha menyamakan hal hal yang secara prinsip sama, tetapi, pelaksanaan teknisnya berlainan: peluncuran dengan im pulse dan swimmout, pemasokan data secara analog dan secara digital, start/ pengaktifan system pendorongan setelah diluar dan saat masih berada dalam peluncur.

· Mengambil hal hal yang bermanfaat dari sifat dan perilaku torpedo lama yang dapat diaplikasikan ketorpedo baru: perluasan cakrawala searching vertical (vertical search cover ability).

· Sasaran awal: Mencoba memanfaatkan torpedo lama untuk tidak saja dipergu nakan sebagai torpedo ansicht, tetapi juga sebagai wahana tempur lain ( seba gai SDV, swimmers delivery vehicle / SKFfKsch Speziale Kraft Fahrzeuge fur Kampf schwimmer, ataupun bahkan dijadikan “human torpedo”).

· Sasaran antara: Mempelajari kekurangan yang terjadi pada torpedo baru, dan menyempurnakannya berdasarkan penelitian yang dilakukan selama proses ini.

· Mempelajari peluncur torpedo pada kapal kapal baru, dan mengadakan bebera pa tambahan peralatan, agar lalu dapat dipergunaakan untuk menembakkan tor pedo lama yang telah diconvert.

· Sasaran akhir: Mendesign torpedo baru, berdasarkan pengalaman redesign /con vertisasi torpe do lama.

3.5. Meredesign sistem pengaktifan propulsi pada torpedo lama.

Torpedo type lama, seperti ET80 dan juga SAET40, diluncurkan dengan dilontarkan oleh suatu impulse tekanan UTT penembakan. Dalam perjalanan disepan jang tabung torpedo, ada suatu stopbuchsen, semacam tuas yang akan mentrigger agar system propulsi aktif. Segera setelah berada diluar torpedo, system propulsi aktif: bahan bakar yang berupa kerosene dan UTT diberikan keruang bakar, yang akan terbakar dan dalam waktu yang singkat akan menimbulkan uap dalam volume yang amat banyak. Uap tersebut lalu dikirimkan keturbin untuk memutar turbin, dan pada giliran berikutnya, turbin akan memutar propeller, guna memberikan tenaga pendorongan terhadap torpedo. Pada SAET40, stopbuchsen tersebut akan mengaktif kan batere untuk memberikan tenaga listrik guna memutar motor torpedo.

Pada kapalselam yang lebih modern, seperti pada type U-209, torpedo tidak ditembakkan dengan system impulse lagi, melainkan, torpedo dibiarkan swimm out, berenang sendiri keluar dari peluncur dengan tenaga pendorongnya. Untuk itu, harus dicarikan cara agar torpedo lama, baik ET80 maupun SAE T40 dapat “swimm out”, berenang keluar dari peluncurnya sendiri, sebagaimana pada torpedo modern SUT, dengan jalan mentrigger mesin pendorongnya agar dapat bekerja lebih pagi, justru saat torpedo masih berada didalam peluncur. Dengan demikian, maka kita tidak perlu mendesign peluncur yang terlalu tebal, yang diperlukan untuk menahan beban tekanan lontar UTT 250 kg/cm2 , sebagai yang selama ini dilakukan di Whiskey class.

3.6. Perubahan cara penyampaian bahasa komando, dari analog kedigital.

Dalam rencana menggunakan kembali ET80 maupun juga SAET40 pada kapal atas air / kapalselam yang lebih modern, yang perlu mendapat perhatian adalah cara penyampaian bahasa komando, dimana semula semua informasi tentang sasaran (ba ringan, jarak, haluan dan kecepatan sasaran dll) dan tentang tugas yang harus dila kukan oleh torpedonya sendiri (kedalaman luncur, kecepatan, haluan dasar, pengaktifan pistol dll), disampaikan dengan cara analog (melalui jentera roda gigi TAS L2). Pada kapalselam yang lebih modern, penyampaian bahasa komando ini dilakukan dengan cara digital, melalui TFC SINBADS. Untuk persiapan penembak an torpedo lama, maka bahasa komando yang disampaikan dengan cara penyampai an digital tersebut kini harus diterjemahkan lebih dahulu kedalam cara analog. Hal itu secara garis besar dapat dilakukan melalui pemasangan suatu D/A (digital to ana log) converter. (Referensi torpedo: pengalaman menjadi pembantu instruktur torpedo dan peluncur torpedo di Torpedo Keller, Marine Waffen Schule, Eckernforde, Jerman, waktu membantu Kapten (1978) Lubis, Perwira AKS kapal latih KDA, dalam belajat To-ro (Torpedo Rohr, peluncur torpedo type S-50 kapal schnell boot Jerman), atas perintah PADIK SATGAS YEKDAKASEL letkol (saat itu, terakhir laksma, alm) Ir. Tedjo Purnomo IX, referensi system control: pengalaman mengikuti training Steering Stand buatan HDW Elektronik, mengajukan usulan penyempurna an / modifikasi system penyampaian informasi

kecepatan kapal saat menyelam dari SAL Log keSteering Stand, yang diakui oleh BWB, Quality Control pemerintah Jerman, dan dilaksanakan oleh Herr Mathiesen dari HDW Elektronik, saat pembangunan kapalselam type U-209 CKA / 401 dan NGL / 402 di HDW, dengan Komandan Satgas Kolonel Yassin Sudirdjo (saat itu, terakhir laksma, alm), periksa juga Private Achivement dari HDW di Curiculum Vitae)

3.7. Kemungkinan meredesign torpedo lama menjadi SDV (Swimmers Delivery Vehicle), atau bahkan “human torpedo”.

Dalam kesempatan ini juga ada baiknya, bila kita lalu mencoba meredesign torpedo tersebut menjadi semacam “Chariot”, yang berkecepatan relative rendah, suatu type SDV “swimmers delivery vehicle”, atau sekaligus juga meredesign torpedo lama agar dapat dijadikan “Kaiten”, semacam “human torpedo” (dengan kecepatan yang tetap tinggi) dari masa kejayaan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang saat Perang Dunia kedua! Kedua jenis senjata tersebut, akan amat cocok untuk digunakan bersamaan dengan pengoperasian midget: murah biayanya, akan tetapi, akan amat banyak menimbulkan kerugian pada pihak lawan yang diserangnya.

Pada redesign torpedo ET80 baik menjadi SDV maupun menjadi “human torpedo”, maka diperlukan beberapa penambahan peralatan, antara lain cocpit bagi para perenang tempur, tangki trim, tangki pengatur, peralatan pengatur kecepatan, stick/batang kendali arah, pedal pengatur kedalaman, periskop dan roda gigi reduksi serta main ballast tank (tangki pemberat pokok), (tiga peralatan yang disebut terakhir, khusus pada SDV).

3.8. Keuntungan teknis, tangible dan entangible dalam mengkonvert torpedo lama, dan minimalisasi Cost of Loss.

Kegiatan mengkonvert/redesign torpedo lama ex Whiskey class, agar dapat dipergunakan dalam kapal kapal yang memiliki peluncur torpedo dengan diameter 21 inch/533 mm, akan membawa dampak positif berupa keuntungan taktis, bahwa kapal kapal tersebut lalu dapat melaksanakan latihan penembakan torpedo, dengan frekwensi dan intensitas yang sesuai dengan yang dibutuhkan, tanpa harus mengalami resiko kehilangan torpedo baru yang (amat) mahal harganya. Kalaupun harus ada torpedo yang hilang, dan kemungkinan ini diusahalan diminimalisir agar sekecil mungkin, maka nilai kehilangan tersebut akan relative kecil, sebab nilai buku torpedo lama ex Whiskey class tersebut telah menjadi nol, bila dibandingkan dengan kalau yang hilang saat dipergunakan dalam latihan adalah torpedo baru, seperti SUT yang berharga sekitar empat milyard Rupiah (itupun, kalau pihak Jerman masih bersedia menjualnya kepada kita, simak pernyataan Laksma Susilo KASATLAIKMAT KAP dalam expose midget di DISLITBANGAL!). Dengan demikian, maka kita dapat tetap melaksanakan kegiatan latihan penembakan torpedo, dengan nilai CoL (Cost of Loss) yang lalu akan dapat kita tekan hingga serendah mungkin.

Disamping itu, kegiatan penelitian dan percobaan semacam ini pasti akan menghasilkan nilai tambah dalam khasanah pengetahuan kita tentang torpedo itu sen diri, yang pada giliran berikut, lalu akan mampu membimbing kita untuk mencipta kan sendiri suatu type torpedo nasional, dan tidak sekedar memperoleh lisensi, dengan masih amat banyak ketergantungan teknis dan administrative, guna mendukung konsep design kapalselam nasional ! Bahkan, secara teknis, dengan mempelajari tata letak / configurasi hydrophone pada kepala pelacak sonar pasif pada SAET40, akan ada kemungkinan, bahwa kita lalu dapat memperluas sudut pandang homing head pada torpedo kendali kita yang lain, dalam bidang vertical, yang lalu berarti mempertinggi jarak search antara lower level dan upper level. Dan, pada giliran yang berikutnya lagi, kita lalu tidak lagi harus menggantungkan diri pada pengadaan torpedo dari Luar Negeri!

3.9. Pengorganisasian TRC (Torpedo Refurbishment Center).

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah, bahwa antar instansi Pemerintah satu dengan yang lain tidak dimungkinkan adanya penarikan maupun pembayaran tagih an, maka disarankan, bahwa TRC (Torpedo Refurbishment Center), walaupun dalam melaksanakan tugas teknisnya yang berkenaan langsung dengan torpedo akan berada penuh dibawah kendali TNI.Angkatan Laut dhi. LABINSEN, akan tetapi, untuk demi kelancaran penyelesaian administrasinya akan didirikan sebagai suatu Badan Usaha umum (minimal PT) yang berdiri sendiri, yang secara administrative, ditem patkan dibawah PRIMKOPAL.

4. PENUTUP.

4.1. Kesimpulan

· Sampai saat ini, dalam masalah torpedo, khususnya torpedo modern, senjata andalan kapalselam, kecuali amat mahal harganya, juga BUKAN merupakan sesuatu yang bisa dengan mudah diperoleh asal kita memili ki dana yang cukup untuk membelinya.

· Sementara itu, diduga kuat, bahwa diArsenal TNI.AL masih banyak terdapat sisa torpedo lama ex kapalselam Whiskey class dari type steam gas straight run ET80, dan non wire guided, electric torpedo SAET40 dengan passive sonar homing head.

· Modifikasi torpedo type steam gas ET80 straight run dan “electric torpedo SAET40 non wire guided, passive sonar homing head” masing masing berdiameter 533 mm, ex Whiskey class Rusia untuk dapat diper gunakan pada peluncur dua kapalselam type U-209 dan mungkin juga dua kapalselam Kilo class, serta pada peluncur type To-ro S50 pada be berapa kapal atas air (KDA/ 364 dan SNA/651 serta AJK/653) bukanlah merupakan suatu “mission impossible”, melainkan justru merupakan “mission dengan possibility keberhasilan yang cukup tinggi”.

· Keberhasilan projek refurbishment kedua type torpedo lama tersebut, akan meningkatkan kesempatan keempat kapalselam dan ketiga kapal atas air bersenjatakan peluncur torpedo caliber 21 inch/533mm untuk dapat melaksanakan latihan penembakan torpedo sesuai kebutuhan.

· Keberhasilan refurbishment torpedo lama tersebut, akan dapat mence gah sisa torpedo lama yang masih ada di Arsenal TNI.AL menjadi scrap, dan dijual dengan harga yang amat murah, dinilai hanya senilai harga besi tua.

· Kalaupun terdapat kegagalan dalam latihan penembakan torpedo ex torpedo lama, biaya kegagalan/kehilangan (cost of loss)nya relative ma sih akan amat kecil, bila dibandingkan dengan yang hilang adalah torpe do modern seperti SUT.

· Keseluruhan kegiatan percobaan, penelitian dan usaha memodifikasi torpedo lama tersebut, akan lebih memperdalam dan lebih memperda lam lagi pengetahuan kita tentang torpedo, sehingga tidak menutup ke mungkinan, bahwa dikemudian hari, kita lalu akan dapat memutuskan sa ma sekali ketergantungan kita terhadap Luar Negeri, karena kita lalu mampu mendesign sendiri torpedo, senjata andalan kapalselam dengan kemampuan kita sendiri, diDalam Negeri.

4.2. Saran

Mohon dapatnya dipertimbangkan untuk memulai mempelajari kemungkinan dilaksanakannya pembentukan “Torpedo Refurbishment Center” dilingkungan TNI. AL tersebut, dengan LABINSEN/DISLITBANGAL sebagai inti, dan dikaitkan dengan suatu Badan Usaha mandiri yang berfungsi untuk menjembatani penyelesaian tagihan dan pembayaran antara sesama instansi Pemerintah, yang berada dibawah PRIMKOPAL.

Surabaya, ….. Mei 2007

Konseptor “Torpedo Refurbishment Center”:

Ir.Dradjat Budiyanto, AAL XIII

Kolonel (Purn) NRP. 5121/P

Teluk Tomini 26, SURABAYA 60165

HP: 0852 3036 6088

Tidak ada komentar:

Posting Komentar